Zaman Yang Terluka (4)

Cerita para ‘sohibul kisah’ tentang awal munculnya Gerakan Kaum “Maju” di jantung hatinya ordo tarikat Syattariyah Ulakan, tidak akan disajikan dalam dunia maya yang terbuka lepas ini, dia memerlukan konfirmasi dan affirmasi berkaitan dengan data dan informasi yang diperoleh.

13427779_1061603100554130_8646236651976999615_n (1)

Pergumulan kaum maju dan “kaum kuno” (begitu sebagian “Ulakanees” menyebut dirinya) saya lompati untuk menuju ke zaman yang penuh pergolakan pasca kemerdekaan, yaitu masa sebelum meletusnya peristiwa 30 September 1965.

Agak mengherankan saya, mengapa para guru dan tetua itu bersemangat sekali menceritakan hal tersebut setelah usai shalat tarwih malam itu. Saya kemudian juga terkenang dengan cerita-cerita Almarhum Buyaku di masa-masa gawat itu. Beliau adalah seorang aktivis Islam dan menjadi muballigh Muhammadiyah lokal, ketika itu usianya sekitar 27 tahun. Setelah memberikan pengajian suatu malam di mesjid Taqwa Ulakan ( ketika itu namanya masih “sughau Legheang”), ia kemudian pulang dengan mengendarai kendaraan mewahnya, yaitu sebuah sepeda, ketika itu disebut sebagai “kutangin torpedo”, karena pendayungnya tidak bisa digerakkan mundur, bisanya hanya maju, jika didayung mundur sepeda akan berhenti, jadi sekaligus berfungsi sebagai rem. Saya masih sempat melihat dan menggunakan sepeda itu hingga pertengahan tahun 80-an. Sekarang sudah tak ada, entah di mana letaknya.

Ketika pulang malam itu, perasaan tak nyaman merasuki batinnya, ia merasa ada yang menguntitnya. Karena keadaan yang tak dapat diprediksi itu, besok harinya Buya tak keluar rumah hingga malam tiba. Di malam itulah ada seseorang mencari Buya, dengan maksud yang mencurigakan, dia dikenal sebagai seorang aktivis Pemuda Rakyat (underbow PKI). Malam itu dia bertanya pada seseorang tentang keberadaan Buya, dia bertanya justru kepada mamak (paman) dari Mak kami, biasa kami panggil dia dengan Ungku Sidin, seorang yang cukup disegani di kampung kami. “nyo ndak ado di umah doh, den ndak lo tau dima nyo kiniko…” Demikian jawab Ungku Sidin kepada orang itu. Orang itu berlalu, semenjak itu Buya berada dalam kewaspadaan yang tinggi dalam menjalankan aktifitasnya.

“….ketika itu keadaan memang penuh tekanan, sering terjadi pawai unjuk kekuatan yang dilakukan oleh barisan Pemuda Rakyat. Pernah sekali waktu, seorang Pemuka PKI yang sangat ditakuti bernama Bahar Kirei, melakukan pawai yang cukup panjang, sejak dari Lubuk Alung, Pauh Kambar, Ulakan, Ketaping hingga berakhir kembali di Lubuk Alung. Bahar Kirei dengan gagahnya mengendarai Motor merek “Ducati” berada di barisan paling depan, di belakangnya ratusan orang mengendarai sepeda mengikutinya sambil tak henti berteriak…. Hidup PKI !…” Cerita salah seorang tetua itu.

“….kita semua diperintahkan menggali lobang di belakang rumah, lubang-lubang itu agar dibuat menyerupai huruf, ada yang seperti huruf “L, G, U dan lainnya. Ketika ditanya untuk apa lobang itu, jawabannya adalah untuk berlindung jika sewaktu-waktu Belanda kembali menyerang dan menjajah Indonesia. Padahal lobang itu sebenarnya adalah untuk menguburkan orang-orang yang menentang PKI, jika mereka berhasil memenangkan kudeta….” cerita tetua lainnya.

Saya membayangkan betapa mencekamnya keadaan saat itu, perasaan saling mencurigai begitu tinggi antar sesama anggota masyarakat, intimidasi berlangsung terus-menerus terutama kepada para aktivis Islam eks Masyumi. Perekrutan terhadap tokoh-tokoh kunci masyarakat tak henti dilakukan oleh para aktivis “kominih” (demikian anggota PKI disebut), sehingga akibatnya banyak orang-orang “bagak” dan wali korong berhasil ditarik bergabung ke dalam gerakan orang-orang kiri itu.

Seringkali rekrutmen dilakukan dengan iming-iming bernuansa ancaman, “Capeklah masuak, jan bapikia juo lai, kereta ka barangkek lai a….!” (Ayolah, cepat masuk, jangan berpikir juga lagi, karena kereta akan segera berangkat..!). Demikian pilihan kata-kata yang sering digunakan untuk mengajak masyarakat bergabung ke dalam Partai Kominih….

Leave a comment